Senin, 11 Februari 2013

Pembiyaan Pendidikan



SISTEM PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
                Mutu pendidikan di Indonesia selama ini kurang memuaskan maka perlu adanya upaya untuk meningkatkannya (Nurkolis, 2002). Mutu pendidikan yang rendah terkait dengan kebijakan pemerintah yang sentralistik. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu cara yang ditempuh adalah desentralisasi bidang pendidikan, karena desentralisasi menurut Abu-Duhou (2002) dapat mengurangi kemacetan administrasi dan komunikasi dan cara untuk meningkatkan tanggungjawab, kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah. Dengan adanya kelancaran administrasi dan komunikasi serta meningkatnya tanggungjawab, kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah dibidang pendidikan diharapkan mutu pendidikan di Indonesia lebih meningkat.
Menurut Ivery Morphi, dkk (2006) implementasi desentralisasi pendidikan yang dimunculkan saat ini adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS telah diujicobakan di Indonesia sejak 1999 (Nurkolis, 2002) dan dipandang mampu mengatasi banyak masalah dalam pengembangan sekolah secara internal (Rekdale, 2005). Lebih lanjut Mulyasa (2004) mengemukakan bahwa “MBS adalah upaya pemerintah mencapai keunggulan masyarakat dalam penguasaan ilmu dan teknologi’. Jadi implementasi desentralisasi yang diwujutkan dalam bentuk MBS adalah untuk menjawab masalah-masalah pendidikan dan tantangan masa depan. Salah satu yang harus didesentralisasikan dalam konsep MBS adalah power / authority yang meliputi budget, personnel dan curriculum (Wohlstetter dan Mohrman dalam Nurkolis, 2002). Budged (anggaran) adalah rencana penerimaan dan pengeluaran dalam jangka waktu satu tahun (Yahya, 2007).
                Kewenangan mengelolaan anggaran adalah keleluasaan mendapatkan sumber-sumber pembiayaan dan keleluasaan dalam hal penggunaannya. Kewenangan pengelolaan anggaran tersebut merupakan kunci penerapan konsep konsep MBS di sekolah. Telah delapan tahun sejak konsep MBS diperkenalkan (1999) sampai sekarang (2007), penerapan konsep MBS masih belum sesuai dengan prinsip-prinsip MBS terutama yang menyangkut dengan pendanaan. Sekolah-sekolah masih sangat tergantung pada kebijakan birokrat dalam pendanaan pendidikan.
Sehingga timbul permasalahan seolah-olah pendanaan pendidikan tidak termasuk kewenangan yang diberikan ke sekolah. Pada hal pendanaan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan MBS. Pendanaan atau anggaran pendidikan meliputi banyak hal seperti sumber keuangan sekolah, kebutuhan sekolah yang perlu dibiayai, bagaimana peran pemerintah pusat, daerah dan masyarakat, sumber-sumber pendanaan,usaha-usaha sekolah untuk mendapatkan pendanaan dan lain sebagainya. Namun makalah singkat ini tidak akan menjawab semua permasalahan tersebut. Makalah ini hadir dihadapan sidang pembaca hanya untuk menjawab perantanyaan, bagaimana peraturan perundang-undangan tentang pembiayaan pendidikan dan bagaimana implementasinya di sekolah bila dihubungkan dengan konsep MBS dalam rangka desenralisasi pendidikan dan otonomi sekolah.



B. Sistem Pembiayaan Pendidikan Menurut Ketentuan UU dan Implementasinya di sekolah.
          Sistem pembiayaan pendidikan di Indonesia sekarang menurut ketentuan Undang-Undang (UU) no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) fasal 46 menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tangung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Pasal 49 ayat 1 menyebutkan selain gaji pemerintah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pemerintah daerah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada sektor pendidikan, lebih lanjut ayat 3 dan 4 menyatakan bahwa dana pendidikan diberikan dalam bentuk hibah bedasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Peraturan Pemerintah (PP) no.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 63 menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan terdiri dari biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal. Biaya investasi meliputi biaya sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia dan modal kerja tetap. Biaya operasi meliputi gaji, bahan habis pakai dan biaya tak langsung. Dan biaya personal meliputi biaya yang dikeluarkam untuk mengikuti proses pendidikan seperti pakaian, transpor, buku, komsumsi dan biaya pribadi lainnya. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Namun tidak jelas berapa parsen tanggung jawab pemerintah pusat, berapa parsen tanggung jawab pemerintah daerah dan berapa parsen tanggung jawab masyarakat. Pemerintah daerah yang dimaksud juga kurang jelas, apakah pemerintah daerah propinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota, mengingat otonomi daerah berada pada pemerintah daerah kabupaten/kota. Bantuan Operasional Sekolah (BOS), school grand dan bantuan lainnya yang diterima sekolah dari pemerintah pusat tidak jelas sumbernya apakah berasal dari APBN atau berasal dari sumber lainnya, karena kita tahu ada bantuan untuk sektor pendidikan sebagai akibat dari pengurangan subsidi bahab bakar minyak (BBM).
Diluar gaji pemerintah pusat mengalokasikan dana 20% dari APBN dan 20% dari APBD untuk sektor pendidikan. Sampai saat sekarang ini alokasi dana pendidikan dalam APBN belum sampai 20 % dan dalam APBD sebagian daerah telah menganggarkan 20% atau lebih namun dalam peruntukannya sering tidak jelas karena tidak didukung oleh peraturan yang jelas dan tegas.
           Dana pendidikan diberikan dalam bentuh hibah, ini berarti bahwa dana pendidikan yang diberikan ke sekolah dikelola sesuai dengan prinsip otonomi sekolah. Kenyataan menunjukan bahwa hal tersebut belum sepenuhnya terwujud, masih banyak campur tangan dari pihak lain dalam pengelolaan berbagai bentuk dana pendidikan yang ada di sekolah. Ada dana bantuan pusat yang pada prinsipnya bebas pajak, namun dalam pelaksanaannya di daerah dana bantuan tersebut tetap kena pajak.
Pendanaan pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan berkelanjutan. Berdasarkan prinsip ini seharusnya tidak ada sekolah yang terlalu kekurangan sarana prasarana. Bila diterapkan dengan konsisten prinsip kadilan, kecukupan dan berkelanjutan tentunya setiap sekolah akan memiliki sarana prasarana sesuai dengan standar minimal. Kenyatan menunjukan ada sekolah yang terlalu berkekurangan sementara dipihak lain ada sekolah yang keadaannya jauh lebih baik, seperti sekolah yang ada di desa dibandingkan dengan sekolah yang ada dikota (Elfan dkk, 2006), atau sekolah swasta dibandingkan dengan sekolah negeri. Pembiayaan pendidikan meliputi biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal. Peraturan pemerintah ini justru mengaburkan ketentuan undang-undang. Dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang SPN dengan tegas dijelaskan bahwa pembiayaan pendidikan diluar gaji 20% dari APBN dan 20% dari APBD, sementara PP no.19 tahun 2005 tentang SNP menjelaskan bahwa pembiayaan pendidikan diantaranya meliputi biaya operasi yang didalamnya termasuk gaji. Gaji guru memang termasuk dalam komponen pembiayaan pendidikan, dalam ketentuan UU gaji diluar ketentuan 20%, namun dalam PP bisa saja diartikan gaji guru termasuk dalam ketentuan 20% dari APBN dan APBD. Jadi antara UU dan PP tentang fasal pembiayaan tidak saling mendukung, yang terjadi justru PP mengaburkan ketentuan UU.
            Pembiayaan pendidikan erat kaitannya dengan politik bangsa dan daerah. Hal tersebut tidak terlepas dari politik dan kebijakan publik secara umum seperti yang menyangkut jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk pembiayaan pendidikan, bagaimana organisasi pengelolaan pendanaan sekolah dan siapa yang harus membayar dan siapa yang harus mendapatkan pendidikan kesemuanya berhubungan dengan berbagai peraturan dan keputusan (Yahya, 2007). Sebagai contoh, UU SPN menyatakan anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD. Disini sangat terasa nuansa politisnya, dimana bebagai kepentingan saling tarik ulur demi kepentingan golongan masing-masing. Dalam pengimlpementasiannya political will pemerintah sampai sekarang juga belum terwujud. Contoh lain dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), keputusan politik pemerintah memberikan dana bantuan operasional sekolah dipolitisir menjadi bentuk sekolah gratis. Pada dasarnya pembiayaan pendidikan menentukan kemajuan pendidikan dan hal tersebut sangat tergantung dengan kemauan dan kebijakan politik pemerintah.
              David Clark dkk. dalam Yahya (2007) mengatakan bahwa system pembiayaan pendidikan di Indonesia (1999) belum menunjukan mekanisme yang jelas. Undang-undang sistim pendidikan nasional menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan menjadi tangung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Namun pola mekanismenya tidak jelas, belun ada ketentuan berapa parsen dari pemerintah pusat, berapa parsen pemerintah daerah dan berapa parsen masyarakat. Juga belum ada ketentuan, bidang apa saja yang dibiayai pemerintah pusat, bidang apa yang dibiayai pemerintah daerah dan hal apa saja yang dibiayai oleh masyarakat. Pemerintah daerahpun tidak di jelaskan, dalam bidang apa saja pemerintah daerah provinsi dan dalam bidang apa pemerintah daerah kabupaten/kota.
Secara umum terdapat dua dimensi model pembiayaan pendidikan yaitu dimensi alokasi biaya dan dimensi penghasilan. Dimensi alokasi biaya terkait dengan target populasi yang disesuaikan dengan program, pelayanan dan kelengkapan fasilitas. Perhitungan unit cost untuk masing-masing program ditentukan oleh kemampuan lokal. Dimensi penghasilan merupakan parsentase dari penghasilan yang ditetapkan dari berbagai sumber. Dimensi alokasi biaya secara garis besar dikelompokan dalam dua model yaitu model flat grant dan model aqualization. Dimensi penghasilan terdiri dari 5 model yaitui; biaya dari daerah seluruhnya, model flat grant, model penyamaan, model pembiayan insentif atau persentase dan model pembiayaan dari pusat seluruhnya. Seperti dijelaskan diatas, untuk Indonesia agak sulit menjelaskan model pembiayaan mana yang dipergunakan sehingga David Clark dkk. tidak salah mengatakan bahwa system pembiayaan pendidikan di Indonesia belum menunjukan mekanisme yang jelas ( John dan Morphet, dalam Yahya, 2007). Sejak reformasi bergulir di Indonesia sekitar tahun 1998 yang lalu, sektor pendidikan termasuk bidang yang direformasi. Diperkenalkannya konsep MBS dan kemudian lahir UU SPN tahun 2003 merupakan bentuk dari reformasi pendidikan tersebut. Pendanaan pendidikan, yang sebelumnya tidak diatur secara jelas, dengan adanya UU tersebut diatur secara tegas pada fasal 46dan 47. Yang dibutuhkan lagi adalah political will pemerintah melaksanakannya.
Disamping melaksanakan dengan tegas ketentuan fasal 46 UU SPN, pada masa yang akan datang pemerintah perlu membuat aturan tentang sumber-sumber pembiayaan pendidikan. Odden dalam Kimbrough and Nunnery (1994) mengemukakan bahwa negara dengan reformasi pendidikan menjadi agresif dalam menemukan sumber-sumber pendapatan baru untuk sekolah-sekolah. Sehingga apa yang disarankan oleh MBEProject. Net (tt) dapat direlisasikan, yang mana mengemukakan bahwa MBS perlu ditunjang dengan dana operasional sekolah, jumlah dana yang diberikan langsung kepada sekolah sangat perlu ditingkatkan. Karena dana yang diterima dari APBD oleh sekolah selama ini sangat minim. Aturan lain yang perlu juga dibuat adalah ketentuan yang membolehkan sekolah mencari sumber-sumber pendanann dengan bebas sehingga sekolah tidak lagi terlalu tergantung dari dana pemerintah.


C. Kesimpulan dan Saran Reformasi peraturan perundangan dalam pembiayaan pendidikan telah dilakukan.
                 UU no.20 tahun 2003 tentang SPN fasal 46, 47 dan 49 menyatakan dengan tegas tentang pembiayaan pendidikan. PP no.19 tahun 2005 tentang NSP fasal 63 juga mengatur standar pembiayaan pendidikan. Implementasi dari ketentuan fasal-fasal dari UU dan PP tersebut masih lemah, misalnya ketentuan fasal 49 ayat 1 menyebutkan selain gaji pemerintah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pemerintah daerah minimal mengalokasikan 20 % dari Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada sektor pendidikan. Sampai sekarang ketentuan fasal tersebut belum terwujud dalam APBN dan sebagian besar APBD di Indonesia. Desentralisasi pendidikan memberikan otonomi pendidikan ke sekolah dalam bentuk MBS. Pelaksanan MBS perlu ditunjang dengan dana operasional Dengan demikian dana yang diberikan langsung kepada sekolah sangat diperlukan dan kewenangan mengelola dana tersebut diberikan sepenuhnya. Disamping itu sekolah perlu diberi kebebasan menggali sumber pendanaan, sehingga lambat laun sekolah tidak lagi terlalu tergantung dengan pemerintah.
               Dari kesimpulan di atas dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Reformasi pendidikan dalam bentuk peraturan perundangan perlu diteruskan, terutama yang menyangkut dengan pembiayaan pendidikan. Pada masa yang akan datang pemerintah perlu menentukan tanggungjawab pemerinah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan, menerapkan prinsip keadilan secara merata agar kemajuan sekolah terlaksana dengan merata dan membuat aturan yang memungkinkan pemerintah menggali sumber pembiayaan khusus untuk bidang pendidikan.
2.  Ketentuan UU tentang pembiayaan pendidikan agar secepatnya direalisasikan, yaitu   terwujutnya anggaran pendidikan diluar gaji 20% dari APBN dan APBD yang dan diikuti dengan aturan peruntukan yang jelas.
3. Dalam rangka pelaksanaan MBS dan otonomi sekolah, sekolah hendaknya diberi keleluasaan atau kewenangan mengelola anggarannya sendiri, sekolah yang tahu dengan kebutuhannya. Dan pada masa yang akan datang perlu dibuat aturan agar sekolah dapat menggali sumber pendanaannya sendiri agar sekolah tidak lagi terlalu tergantung pada pemerinah.
Conto kelemahan dan kelebihan UU tentang pendanaan pendidikan
·         1. Kelebihan dan kelemahan antara KTSP(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)dengan KBK (KurikulumBerbasis Kompetensi)Posted on Maret 1, 2012 by im Sparkyu1KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebuah kurikulum operasionalpendidikan yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan diIndonesia.KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahunajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL)untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan MenteriPendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, sertaPanduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP. Pada prinsipnya, KTSP merupakanbagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agarsesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP (Kurikulum Tingkat SatuanPendidikan) terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatankurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SIdan SKL. • Kelebihan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 1. Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. 2. Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan. 3. KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa. Sekolah dapat menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh daerah kawasan wisata dapat mengembangkan kepariwisataan dan bahasa inggris, sebagai keterampilan hidup. 4. KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat. Karena menurut ahli beban belajar yang berat dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
  • 2. 5. KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan. 6. Guru sebagai pengajar, pembimbing, pelatih dan pengembang kurikulum. 7. Kurikulum sangat humanis, yaitu memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan isi/konten kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah, kemampuan siswa dan kondisi daerahnya masing-masing. 8. Menggunakan pendekatan kompetensi yang menekankan pada pemahaman, kemampuan atau kompetensi terutama di sekolah yang berkaitan dengan pekerjaan masyarakat sekitar. 9. Standar kompetensi yang memperhatikan kemampuan individu, baik kemampuan, kecakapan belajar, maupun konteks social budaya. 10. Berbasis kompetensi sehingga peserta didik berada dalam proses perkembangan yang berkelanjutan dari seluruh aspek kepribadian, sebagai pemekaran terhadap potensi- potensi bawaan sesuai dengan kesempatan belajar yang ada dan diberikan oleh lingkungan. 11. Pengembangan kurikulum di laksanakan secara desentralisasi (pada satuan tingkat pendidikan) sehingga pemerintah dan masyarakat bersama-sama menentukan standar pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum. 12. Satuan pendidikan diberikan keleluasaan untyuk menyususn dan mengembangkan silabus mata pelajaran sehingga dapat mengakomodasikan potensi sekolah kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah. 13. Guru sebagai fasilitator yang bertugas mengkondisikan lingkungan untuk memberikan kemudahan belajar siswa. 14. Mengembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan ketrampilan berdasarkan pemahaman yang akan membentuk kompetensi individual. 15. Pembelajaran yang dilakukan mendorong terjadinya kerjasama antar sekolah, masyarakat, dan dunia kerja yang membentuk kompetensi peserta didik. 16. Evaluasi berbasis kelas yang menekankan pada proses dan hasil belajar. 17. Berpusat pada siswa. 18. Menggunakan berbagai sumber belajar. 19. kegiatan pembelajaran lebih bervariasi, dinamis dan menyenangkanSedangkan kelemahan dari kurikulum KTSP adalah 1. Kurangnnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada. Minimnya kualitas guru dan sekolah.
  • 3. 2. Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP . 3. Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik kosepnya, penyusunannya,maupun prakteknya di lapangan 4. Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya pendapatan guru. Sulit untuk memenuhi kewajiban mengajar 24 jam, sebagai syarat sertifikasi guru untukmendapatkan tunjangan profesi.sedangkan KBK atau Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah seperangkat rencana danpengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar, serta pemberdayaan sumber daya pendidikan.Batasan tersebut menyiratkan bahwa KBK dikembangkan dengan tujuan agar peserta didikmemperoleh kompetensi dan kecerdasan yang mumpuni dalam membangun identitas budaya danbangsanya. Dalam arti, melalui penerapan KBK tamatan diharapkan memiliki kompetensi ataukemampuan akademik yang baik, keterampilan untuk menunjung hidup yang memadai,pengembangan moral yang terpuji, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup yang sehat,semangat bekerja sama yang kompak dan apresiasi estetika yang tinggi terhadap dunia sekitar.Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, adalah kurikulum dalam duniapendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah ada sekolah yangmulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara materi, sebenarnyakurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara para muridbelajar di kelas.Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem caturwulan. Sedangkandalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu pun, paramurid hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja.Dalam kurikulum 2004 ini, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untukmenerapkan IPTEK tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, meski sesungguhnya antarsiswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, namun meskibegitu pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswabukan lagi objek, namun subjek. Dan setiap kegiatan siswa ada nilainya.Kurikulum berbasis kompetensi merupakan suatu desain kurikulum yang dikembangkanberdasarkan seperangkat kompetensi tertentu. Mengacu pada pengertian tersebut, dan juga untakmerespons terhadap keberadaan PP No.25/2000, maka salah satu kegiatan yang perlu dilakukanoleh pemerintah, dalam hal ini Depdiknas adalah menyusun standar nasional untuk seluruh matapelajaran, yang mencakup komponen-komponen; (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar,(3) materi pokok, dan (4) indikator pencapaian. Sesuai dengan komponen-komponen tersebutmaka format Kurikulum 2004 yang memuat standar kompetensi nasional matapelajaran adalahseperti tampak pada Standar kompetensi diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilari,sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai dalam mempelajari suatu matapelajaran.Cakupan standar kompetensi standar isi (content standard) dan standar penampilan (performancestandard). Kompetensi dasar, merupakan jabaran dari standar kompetensi, adalah pengetahuan,keterampilan dan sikap minimal yang harus dikuasai dan dapat diperagakan oleh siswa padamasing-masing standar kompetensi. Materi pokok atau materi pembelajaran, yaitu pokok suatubahan kajian yang dapat berupa bidang ajar, isi, proses, keterampilam, serta konteks keilmuansuatu mata pelajaran. Sedangkan indikator pencapaian dimaksudkan adalah kemampuan-
  • 4. kemampuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai ketuntasanbelajar. • Kelebihan / Keunggulan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi ) 1. Mengembangkan kompetensi-kompetensi siswa pada setiap aspek mata pelajaran dan bukan pada penekanan penguasaan konten mata pelajaran itu sendiri 2. Mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student oriented).Siswa dapat bergerak aktif secara fisik ketika belajar dengan memanfaatkan indera seoptimal mungkin dan membuat seluruh tubuh serta pikiran terlibat dalam proses belajar.dengan demikian, siswa dapat belajar dengan bergerak dan berbuat belajar dengan berbicara, mendengar belajar dengan mengamati dan menggambarkan,serta belajar dengan memecahkan masalah dan berpikir.Pengalaman-pengalaman itu dapat diperoleh melalui kegiatan mengindera, mengingat, berpikir, merasa, berimajinasi, menyimpulkan, dan menguraikan sesuatu.Kegiatan tersebut dijabarkan melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. 3. Guru diberi kewenangan untuk menyusun silabus yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekolah/daerah masing-masing 4. Bentuk pelaporan hasil belajar yang memaparkan setiap aspek dari suatu mata pelajaran memudahkan evaluasi dan perbaikan terhadap kekurangan peserta didik 5. Penilaian yang menekankan pada proses memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi kemampuannya secara optimal, dibandingkan dengan penilaian yang terfokus pada konten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar